Biografi Amir Hamzah - Sastrawan Indonesia

Amir Hamzah merupakan seorang tokoh yang memberikan pengaruh dalam bidang sastra Indonesia. Beliau bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, termasuk sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Amir lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun.

Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah, Tengku Muhammad Adil, karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah. Dia lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari 1911 dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat).

Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan dan lulus pada tahun  1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah.

Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.

Baca juga : Biografi Chairil Anwar

Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu yang terbit pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.


Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe.

Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali karya sastra yang dibuat oleh Amir Hamzah.

Penghargaan dan Pengakuan Umum
Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya. Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni. Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.  Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya. Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan, Mataram, dan Surabaya.

Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia. Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru" namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik. Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka". Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.

Baca juga : Biografi Dewi Lestari

Kematiannya
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Dia menjadi salah satu korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo. Kala itu pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah pada 7 Maret 1946. Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi.

Amir Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975
Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawad Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.

Sebagai seorang sastrawan, karya karya amir hamzah masih dikenal hingga saat ini. sebagian besar tulisannya, termasuk puisi Amir Hamzah nyanyi sunyi, diterbitkan Poedjangga Baroe. Begitu juga puisi Amir Hamzah buah rindu.

No comments:

Post a Comment